Senin, 07 November 2011

Kuasakah Tuhan Menciptakan Batu yang Dia Tidak Kuasa Mengangkatnya


Sebuah pertanyaan klasik ateis adalah "Kuasakah Tuhan Menciptakan Batu yang Dia Tidak Kuasa Mengangkatnya" Banyak orang menyangka pertanyaan ini hebat dan tidak akan bisa dijawab, padahal sebenarnya sangat gampang menjawabnya. Meskipun jika ditinjau dari ilmu mantiq (logika) pertanyaan seperti ini absurd (batal dengan sendirinya karena tidak memenuhi kriteria logis sebuah kalimat) tetapi jika dipaksakan juga jawabannya tetap ada, bahkan jauh lebih mudah dibanding jawaban filosofisnya. Nah seperti apa jawaban dari pertanyaan "Kuasakah Tuhan Menciptakan Batu yang Dia Tidak Kuasa Mengangkatnya" berikut ini penjelasannya,
PERTAMA: absudritas (ketidaklogisan) kalimat ini menjadi jelas ketika kita hilangkan beberapa kata hingga tersisa keterangan pokok kalimat tersebut:
  • Kuasakah Tuhan Menciptakan Batu yang Dia Tidak Kuasa Mengangkatnya? di singkat menjadi
  • Kuasakah Yuhan Tidak Kuasa?
Kalimat itu tidak memenuhi kriteria logis sebuah kalimat, karena kata "kuasa" berlawanan makna dengan kata "tidak kuasa". Kalimat kalimat seperti ini tidak terdapat dalam pembicaraan lazim manusia baik dalam kehidupan keseharian maupun dalam kajian ilmu pengetahuan. Karena selain absurd (tidaklogis), kalimat semacam itu juga tidak memiliki nilai / manfaat samasekali untuk mendapatkan informasi, artinya, dijawab atau tidak sama saja tidak memberikan tambahan informasi apapun.

Dalam ilmu kejiwaan biasanya kalimat seperti ini hanya muncul pada orang orang tertentu yang mengalami disfungsi otak terutama dalam hal konsistensi logika yang dimilikinya. Di dunia nyata, orang seperti ini dikenal sebagai "orang gila" atau "kurang waras"

Tidak mengherankan jika hampir semua opini ateistik yang menolak keberadaan Tuhan semacam ini seringkali disebut sebagai tindakan kurang akal atau tidak berakal, dalam kalimat quran disebut "laa ya'qiluun" (mereka tidak menggunakan akal nya)

KEDUA: pertanyaan "Kuasakah Tuhan Menciptakan Batu yang Dia Tidak Kuasa Mengangkatnya" bisa langsung dijawab sebagai berikut:
  1. Tuhan Maha Kuasa Menciptakan Apapun
  2. Manusia bisa menciptakan komputer yang tak bisa dikalahkannya (meski sebenarnya komputer itu tetap bisa dikalahkannya yaitu dengan mencopot sambungan listrik dan baterai nya). Kalau manusia saja bisa apalagi Tuhan?
Meskipun demikian jawaban jawaban tersebut hanya bersifat silat lidah dengan saling memutar balik kalimat dengan menyesuaikan alur logika yang disepakati dalam kalimat penanya. lebih dari itu tidak ada manfaatnya kecuali hanya untuk mematahkan pertanyaan itu sendiri.

[+/-] Selengkapnya...

Apa itu Tuhan? Siapa itu Tuhan? Benarkah Tuhan itu ada? Benarkah Tuhan itu tidak ada?


Kata “Tuhan” menjadi salah satu kata yang paling sering disebut sebut oleh orang kebanyakan walaupun maknanya sangat bergantung masing masing orang dalam memahami arti kata “Tuhan” itu sendiri. Kata Tuhan yang dibahas berikut ini merujuk pada pertanyaan “apakah alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan ataukah alam semesta sudah ada dengan sendirinya tanpa adanya Tuhan?” Jadi Tuhan yang dibahas adalah Tuhan Pencipta Alam Semesta, bukan dewa dewa atau tuhan tuhan lain yang dalam keyakinan penganutnya tidak menciptakan alam semesta. Mari kita simak sejenak

Kata“Tuhan”ada dalam buku-buku agama, oleh karenanya makna kata”Tuhan”kemungkinan besar dapat ditemukan dalam buku-buku agama tersebut.

Kata ”Tuhan” tidak ada dalam buku-buku sains, oleh karenanya kecil kemungkinan atau bahkan tidak akan mungkin menemukan makna Tuhan dalam buku-buku sains.

Permasalahan besarnya adalah kata “Tuhan” itu ada sejak dahulu dan sampai sekarang tetap ada. Padahal sains moderen masih tetap saja tidak dapat memberikan bukti laboratorium tentang keberadaannya.

Kaum atheis (yang menolak keberadaan tuhan) sama saja, mereka tidak dapat menunjukkan bukti laboratorium tentang ketiadaan tuhan. Karena di laboratorium hanya bisa ditemukan bukti tentang keberadaan sesuatu tetapi tidak bisa menegaskan ketiadaan sesuatu. Sayangnya banyak saintis yang terjebak dalam keilmiahan yang tidak ilmiah. Mereka menganggap sesuatu dapat dikatakan ada secara ilmiah hanya apabila sesuatu itu dapat dibuktikan di laboratorium. Padahal tidak demikian. Banyak hal yang tidak bisa dibuktikan di laboratorium padahal dia ada.

Penolakan kaum ateis tidak pernah menyurutkan penyebutan kata “Tuhan” oleh orang banyak, bahkan tak mungkin dipungkiri, demi menolak keberadaan tuhan, dalam seluruh argumentasinya kaum ateis (baik terpaksa atau sukarela) tetap menyebut kata “Tuhan” Perhatikan baik-baik: Tuhan itu ada. Tuhan itu tidak ada. Dua pernyataan tersebut ternyata sama-sama menggunakan kata “Tuhan”

Beberapa orang merujuk pembuktian ketiadaan Tuhan pada tingkat eksperimen telah dilakukan sebagaimana para saintis membuktikan ketiadaan ‘eter’ yang dipercaya ada oleh para saintis pendahulu mereka dalam menerangkan media perambatan gelombang cahaya. Perbedaannya:

1. Masalah eter dikemukakan oleh saintis, dipakai oleh saintis dan dibantah pula oleh saintis, sedangkan masalah Tuhan diyakini oleh orang banyak (jauh lebih banyak dari jumlah saintis yang membahas eter) dan dibantah oleh sebagian saintis yang ateis.
2. Istilah eter dimunculkan dalam pembahasan medium perambatan gelombang cahaya (artinya sebelum pembahasan medium perambatan cahaya istilah eter ini tidak ada atau belum digunakan), kemudian setelah terbukti tidak ada istilah ini lebih tidak terpakai lagi baik oleh saintis apalagi orang awan. Sedangkan kata “Tuhan” dipakai dan disebut sebut orang banyak ribuan tahun sebelum pembuktian ketiadaan Tuhan. Dan sekarang setelah pembuktian ketiadaan tuhan itu dilakukan (kalau memang itu benar2 terjadi) ternyata orang banyak yang menyebut kata “Tuhan” itu masih tetap ada, malahan semakin bertambah banyak.

Tuhan itu ada, Tuhan itu tidak ada. Dua pernyataan itu meski sama-sama tidak dapat dibuktikan di laboratorium tapi pendapat pertama tampak lebih kuat. Sembilan dari sepuluh orang meyakini adanya tuhan, sisanya satu orang hanya ragu-ragu (bukannya yakin bahwa Tuhan tidak ada)
Lantas kemana kita mesti merujuk untuk menemukan Apa itu Tuhan? Siapa itu Tuhan? Ada dimanakah Dia? Apa yang Dia kerjakan, Apa hubungan Dia dengan kita? Apa hubungan Tuhan dengan Alam Semesta?

Yang jelas tidak mungkin merujuk pada saintis ataupun buku buku sains. Seperti sudah disebutkan , untuk mengetahui segala sesuatu tentang tuhan kita mesti merujuk pada buku-buku agama. 

Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha, Confusianism, Shintoism adalah beberapa agama yang didalam bukunya terkandung penjelasan tentang tuhan. Penjelasan yang ada bisa sama atau berbeda satu sama lain, dan dengan metoda yang tidak harus rumit dan disiplin berpikir sederhana, kita bisa menarik benang merahnya kemudian menarik satu pengertian yang komprehensif dari penjelasan-penjelasan tersebut.

Agama dan semua bukunya berasal dari masa lalu, itu berarti buku-buku tersebut merupakan bagian dari sejarah masa lalu, oleh karenanya otentisitas naskahnya dapat diteliti dan dipastikan dengan metode penelitian sejarah. Artinya ada dua arah pendekatan keilmuan dalam mempelajari buku keagamaan:

1.Pendekatan logika  Untuk memahami penjelasan dalam buku agama
2. Pendekatan sejarah Untuk memastikan asal usul agama atau buku agama yang dipelajari Untuk merangkai data data sejarah yang diungkap dalam buku agama yang dipelajari kemudian di bandingkan dengan data sejarah yang sudah terungkap para sejarawan sampai sekarang
Data dari buku dan data dari sejarawan dapat saling mengoreksi atau saling melengkapi kemudian dapat disusun dirangkai menurut logika sejarah yang berimbang, jujur, dan adil

Setelah ketemu bahwa buku paling otentik yang menjelaskan tentang Tuhan adalah Quran maka dari buku itulah kita bisa mengenal Siapa Dia, Tuhan yang menciptakanAlam Semesta. Tidak mungkin kita mendapatkan informasi yang tepat mengenai Tuhan kecuali jika kita bertanya kepada orang yang benar benar mengenalNya atau informasi dari Tuhan Sendiri
diantara orang yang paling mengenal Tuhan adalah Muhammad atau Isa Al Masih, sayangnya teramat banyak orang memalsukan kata kata mereka berdua. Kata kata  Muhammad dipalsukan dalam ribuan hadits palsu dan dhaif, sedangkan kata katan Isa dipalsukan dan dicampurkan dengan kitab taurat menjadi bibel.
 Jadi yang paling aman untuk melangkah pertamakali agar kita bisa mengenal Allah adalah membaca Quran. Quran bukan milik Islam saja, siapapun boleh membacanya. Setelah membaca juga tidak ada paksaan untuk menjadi islam atau bukan. Kalau pengetahuan di dalamnya benar bisa kita pakai, kalau tidak tahu bisa bertanya.
(tulisan ini ditujukan kepada teman teman yang ingin mendapatkan informasi yang memadai mengenai Tuhan Semesta Alam)

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 18 Oktober 2011

Ketetapan Allah Bukanlah Takdir



Beberapa orang mengatakan bahwa skenario kejadian di hari berbangkitpun sudah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka mengusung potongan ayat, "kitabillah ile yaumil ba'tsi (=ketetapan Allah sampai hari berbangkit)" Jadi manusia tinggal menjalani skenario tersebut lengkap dengan castingnya. siapa yang jadi ahli surga, siapa yang ahli neraka juga sudah dijatah masing masing karena sudah selesai dituliskan. Benarkah demikian? SALAH, karena ternyata dalam ayat ini Ketetapan Allah Bukanlah Takdir. Berikut penjelasannya

Potongan ayat yang mereka ajukan adalah bagian dari ayat 56 Surat ar Ruum sebagai berikut:

 Artinya: Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): "Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah sampai hari berbangkit; maka inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini (nya). (Ruum 56)

Sebagaimana dalam posting sebelumnya (surat an Nisa 24), dalam ayat ini ketetapan Allah juga berpadanan dengan ‘kitabi Allah’ Pemaknaan frasa nya juga mengarah pada ‘sesuatu yang telah dituliskan sebagai sebuah ketetapan” Bedanya adalah mengenai topik yang dituliskan. Kalau dalam Surat an Nisa 24 yang dituliskan sebagai ketetapan adalah aturan pernikahan, kalau dalam surat Ar Ruum 56 ini yang dituliskan oleh Allah sebagai ketetapan adalah tahapan yang dilalui manusia dari alam dunia menuju alam akhirat.


Kesalahan Penafsiran

Kesalahan pemahaman juga terjadi atas ayat ini mengenai frasa ’kitabi Allah ila yaumil ba’ts (ketetapan Allah hingga hari berbangkit)’
Beberapa orang mengatakan frasa tersebut menerangkan bahwa kejadian pada hari berbangkit telah selesai dituliskan. Lebih jauh lagi mereka menafsirkan bahwa si fulan di hari berbangkit itu akan bangkit sebagai ahli neraka atau surga pun semuanya sudah dituliskan.

Penafsiran ini mengada ada. Sekali lagi kita teliti bahwa tidak satupun kata yang mengarah pada penetapan nasib seseorang. Yang sudah ditetapkan adalah tahapan atau prosesnya. Kalau dalam bahasa komputer sudah ada flow chart nya.

ketetapan itu sbb:
Setelah mati semua orang akan menjalani masa menunggu di dalam kubur hingga datangnya hari berbangkit.

Beberapa penterjemah menyarankan untuk membalik urutan frasa dalam ayat tersebut agar lebih mudah dicerna dengan rasa bahasa yang sesuai dengan bahasa indonesia, sebagai berikut:
Kalimat asli sesuai teks Qurannya “Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah sampai hari berbangkit”

Frasa yang dicetak tebal dipindahkan ke paling belakang menjadi:
Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) sampai hari berbangkit; menurut ketetapan Allah

Dengan susunan frasa seperti itu lebih terlihat bahwa yang sampai hari berbangkit bukan masalah ketetapannya. Yang sampai hari berbangkit itu adalah lamanya menunggu di dalam kubur.

Jadi sekali lagi yang dimaksud “kitabi Allah (=ketetapan Allah)” dalam ayat 56 surat Ar Ruum ini adalah :

ketetapan atau ketentuan bahwa setiap orang yang mati pasti melalui fase menunggu (di alam kubur) sampai hari dibangkitkannya semua manusia.

demikian penjelasan ini. ayat ayat lain yang mencantumkan kata kitaba, kitabi, atau kitaban yang memiliki arti ketetapan dibahas dalam artikel berikutnya

[+/-] Selengkapnya...

Minggu, 14 Agustus 2011

Menyemai Gotong Royong


Tulisan ini berangkat dari kegundahan terhadap fenomena berbangsa-bernegara yang kian tercabik dan terberai. Disintegrasi menjadi penyakit laten yang belum terjawab, namun sudah menganga mengancam tali persatuan. Merebaknya saling curiga, membudayanya saling hujat, nihilnya saling percaya, dan ragam pemandangan lainnya yang tak sedap, kian menggumpalkan kelusuhan berindonesia kita.  
Sejak Indonesia berdiri, komitmen persatuan menjadi pengikat yang meleburkan segala ego personal dan kelompok menjadi ego Indonesia Raya. Sebuah ikrar yang lazim terjadi di setiap negara dan bangsa manapun, karena hanya tekad persatuan itulah sebuah negara berdiri tegak dan dapat mengelola dirinya dengan baik. Tanpa persatuan, tidak ada lagi rumusan negara dapat bertahan lama. Uni Soviet sebagai negara adidaya pun, runtuh tak berdaya akibat leburnya persatuan menjadi fanatisme etnik. Jika disintegrasi terjadi, berarti jurang kehancuran negara sedang menanti. 
Menelisik kondisi bangsa kini, sepantasnya kita cemas. Nilai-nilai yang semestinya menjadi pijakan dalam berbangsa kian luntur, sementara arus tantangan begitu kuat menerjang di segala aspek budaya, politik, dan ekonomi. Globalisasi yang tidak terelakkan misalnya, telah banyak menghentak struktur nilai konvesional masyarakat kita hingga ruang terkecil dan remeh-temeh. Akhirnya, kelemahan daya imunitas bangsa akan rentan menghadirkan sebuah bangsa yang ringkih dan lemah.
Menurut saya, jika kenyataan tersebut tidak diantisipasi dini dan abai direspons, sungguh akan menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan negara Indonesia ke depan. Pernyataan ini tidaklah hiperbolik, apalagi bombastis, karena persoalannya begitu dekat dan lekat dengan kehidupan sehari-hari kita dalam berbangsa seperti kemiskinan menganga, mulai bergeliatnya etnosentris, hingga kumandang merdeka dari rengkuhan Indonesia.

Gotong Royong
Untuk melerai segala potensi yang merontokkan sendi berbangsa, kita harus kembali kepada nilai-nilai luhur bangsa kita. Gotong-royong adalah salah satu nilai luhur utama bangsa yang seharusnya dijadikan ruh dalam segala aspek bertindak, namun ter(di)lupakan. Karena nilai gotong-royong bukan sekedar seremonial yang hanya terjebak pada praktik-praktik slogan tanpa ruh. Tapi, harus dijalarkan agar menjadi landasan pijak dan tindak dalam membangun bangsa yang lebih baik.
Ir. Soekarno menegaskan semangat gotong royong lebih dinamis dari nilai kekeluargaan dan menjadi intisari Pancasila. Para founding fathers melatakkannya sebagai prinsip nilai bangsa yang tidak lagi bisa ditawar. Tetapi, hati ini terasa miris ketika nilai gotong-royong yang merupakan ejawantah Pancasila dan selalu didengungkan, namun senyap menjadi pajangan di dinding yang tidak lagi bergelora dalam tindakan berbangsa.
Bangsa kita telah mencapai banyak pembaruan dan perubahan. Keterbukaan politik dilakukan, restrukturasi ekonomi diupayakan, reformasi terus digelorakan. Tetapi sayang, semangatnya masih jauh dari muara prinsip gotong-royong. Keterbukaan politik justru disadap oleh hasrat an sich ingin berkuasa, perbaikan ekonomi dipoles untuk mengeruk kekayaan demi diri sendiri, dan gelora reformasi dijadikan ajang kontestasi saling menjatuhkan.
Lambannya pembenahan bangsa sejak reformasi bergulir, akibat tumpulnya ketajaman dalam menjadikan gotong-royong sebagai pijakan pembaruan. Kebebasan dan keterbukaan politik bergerak secara liar tanpa mengindahkan sendi-sendi solidaritas kolektif sebagai bangsa. Jalan perubahan kita telah melenceng dari semangat gotong-royong. Jika kondisi ini terus terbiarkan, bangsa kita tidak semata akan mengalami turbulensi, tapi menjadi lubang yang mematikkan bagi keutuhan negara-bangsa (nation-state) Indonesia.

Melebur Ego
Gotong royong mengandaikan leburnya benteng ego personal ke dalam ego kolektif untuk saling menopang demi kemajuan bangsa. Membangun gotong royong berarti sama-sama saling menopang dan bahu-membahu untuk mewujudkan kebaikan bagi negara dan bangsa, bukan sebaliknya. Namun, ketika keadilan harus ditegakkan, rasa kekeluargaan dan gotong-royong bukan berarti harus ditutupi atas nilai kebersamaannya.
Ketercabikan persatuan di tengah masyarakat akibat ego yang demikian menyeruak harus dihentikan dengan menyemai kembali semangat gotong-royong. Seruan untuk merekatkan lagi rasa persaudaraan dan kebersamaan sebagai sebuah bangsa yang besar oleh para pemimpin serta tokoh masyarakat sangat diperlukan. Seruan gotong-royong yang digemakan terus menerus, dapat membangun suasana baru dalam bathin kebangsaan kita.
Tetapi yang jauh lebih penting, seruan itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Seorang guru menghadirkan spirit gotong-royongnya dalam semangat bersama untuk mendidik anak bangsa. Seorang pegawai menampakkanya dengan semangat produktivitas pengabdian kepada negara. Seorang pemimpin dan tokoh masyarakat menunjukkannya dengan saling membahu untuk memberikan yang terbaik buat rakyat yang dipimpinnya.
Oleh karena itu sudah saatnya kita menyemai kembali gotong-royong untuk menjawab ancaman yang dapat meruntuhkan keutuhan persatuan bangsa Indonesia. Sebagai anak bangsa, kita memiliki tanggung-jawab besar mempertahankan dan menguatkan pondasi kebangsaan yang sudah dibangun para pahlawan dan founding fathers dengan keringat dan darah. Hanya itu yang bisa kita persembahkan untuk kejayaan Indonesia. ***

[+/-] Selengkapnya...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Entri Populer

Pengikut