Selasa, 02 Agustus 2011

Menjernihkan Indonesia

expr:id='"post-body-" + data:post.id'>
“Negara macam apa ini? Siapa yang memilikinya? Siapa yang mengaturnya? Apa yang tengah terjadi?” Demikian kegeraman Arundhati Roy tentang negara yang mencatatnya sebagai warga, karena terlantarnya jutaan orang yang harus menjadi pengungsi di tanah kelahirannya sendiri oleh satu perang yang tak diakui. Perang yang mengatasnamankan kepentingan umum, kemajuan dan pembangunan nasional (The Cost of Living, 1999). Demikian pun dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak sedikit warga yang melakukan interupsi yang sama. Beberapa diantaranya, bahkan merobek merah putih dari teritorinya.
Indonesia itu apa atau siapa? Kalau kita jujur, keluhan yang menumbuhkan berbagai rasa sakit, juga dendam ini, sukar dijawab secara jelas karena banyaknya deviasi, anomali dan abnormalitas dalam hidup sebagai masyarakat bangsa. Sebuah situasi –yang bisa jadi– berarti; kemerdekaan dari yang telah diraih, bergerak tidak linier dengan kemerdekaan untuk.
Alih-alih memikirkan globalisasi yang menuntut keunggulan kompetitif, elemen dasar negara (politik, ekonomi, hukum, budaya dan pertahanan keamanan), masih digelayuti benalu yang terus menerus menghisap potensi kenyamanan kita sebagai masyarakat bangsa. Maka interogasi kritis terhadap Indonesia, mesti dilakukan untuk menghindarkan penemuan luka yang lebih dalam.
Proses ini dibutuhkan untuk mengetahui lebih dalam apa yang disebut Indonesia sekaligus mengurai benang kusut di dalamnya. Sekalipun tidak dapat disangkal bahwa “reformasi” telah memberikan perubahan, mulai dari desentralisasi kekuasaan, luasnya gelaran tikar demokrasi, hingga rakyat berhak menentukan secara langsung pemimpinnya. Tapi proses pendemokrasian demokrasi itu, hanya memukau secara suram. Sehingga tujuan lebih subtantif dari demokrasi, yakni kesejahteraan umum sulit diterjemahkan, karena yang tersedia di dalamnya jauh dari lengkap dan sempurna. Bahkan untuk sebagian justru tidak koheren, tidak cocok dan tidak saling menopang. Konsekuensinya, tidak sedikit yang menyebutnya “demokrasi kondom”. Semuanya dapat disalurkan, untuk kemudian–sebatas– ditampung pemerintah. Juga, “demokrasi malam”, karena penuh gemerlap, manipulasi dan kompromi.

Menjahit Lubang Merah Putih
Memang, masih banyak lubang pada Merah Putih yang perlu dijahit! Angka pengangguran terbuka dan kemiskinan mencapai 10,55 juta dan 37,17 juta orang per Maret 2007. Versi Bank Dunia, garis kemiskinan 49% dari jumlah total penduduk atau 109 juta. Angka-angka ini merupakan peringatan serius terhadap kemampuan negara dalam mengelola kesejahteraan bagi rakyatnya. Lantas, bagaimanakah cara anak-anak Indonesia yang mencapai dua juta jiwa, yang harus bertahan hidup sebagai gelandangan, pengemis dan pemulung, membayangkan masa depan? Sementara sekolah-sekolah untuk mereka bertumbuhan menjadi mesin kapitalisme baru, dan lapangan kerja, hanya terbuka bagi orang-orang yang terampil dan berpengalaman?
Situasi mencemaskan inilah yang membuat Eko prasetyo beberapa tahun lalu meradang; Orang Miskin Dilarang Sekolah, juga Dilarang Sakit. Ironi ini, juga digambarkan dengan baik dalam Film Denias Senandung di atas Awan. “Ini bukan Jawa,” kata bapak Denias. Ia marah, dalam lukanya sebagai orang miskin, terbelakang dan tidak berpendidikan. Bapak Denias–ilustrasi dari rakyat kebanyakan–marah, karena haknya untuk hidup layak disabotase. Namun, sistem berpihak tidak pada kejujuran dan kemanusiaan. Tapi pada kekuasaan. Maka tidak berlebihan mengutip kalimat Ronal Reagan bahwa, pemerintah bukanlah solusi untuk persoalan kita. Tapi pemerintah adalah persoalan itu sendiri.
Pada konteks inilah, tidak salah bila kita kembali membaca secermat mungkin hasil studi Gullermo O’donnell dan Philippe Schmitter dalam melihat transisi demokrasi (Transition from Authoritarian Rule; Tentative Conclusion About Uncertain Democracies, 1986). Bahwa transisi dari rezim otoriter tidak selalu dan tidak selamanya menuju konsolidasi demokrasi, melainkan sangat mungkin bergerak ke arah lain yang belum jelas, bisa jadi berupa ditegakkannya demokrasi politik atau justru dipulihkannya kembali suatu bentuk pemerintahan otoritarian baru yang mungkin lebih kejam daripada sebelumnya. Atau, dapat pula sekedar rotasi kekuasaan dari pemerintahan yang silih berganti namun gagal memberikan solusi yang mapan dan dapat diprediksi terhadap masalah pelembagaan kekuasaan politik.
Fakta atas adanya bara dalam sekam yang terus menyala dan menjalar di bawah struktur politik formal, sebagaimana dipaparkan di atas, tidakkah cukup  menegaskan “gerak lain” itu?

Menjernihkan Indonesia
Sengkarut dalam narasi besar Indonesia di atas, nyaris tidak bertitik cerah, kecuali angka-angka pertumbuhan dan statistik yang berkemungkinan besar menyimpan dusta. Indikasi tersebut, pernah dipaparkan oleh Huff (1954) dalam bukunya tentang bagaimana statistik dapat digunakan untuk melakukan kebohongan dan menjastifikasi vested interest. Gambaran ini, tentu bukan Indonesia yang kita inginkan, untuk diri kita maupun generasi setelah kita. Pertanyaannya, apakah yang seharusnya kita lakukan dengan semua ini?
Hemat penulis, sesungguhnya kita memiliki kemampuan serta sumber daya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Sebuah masa depan negara yang berketuhanan, berperikemanusiaan, bersatu, dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat. Yang menghalangi kita dari membentuk masa depan semacam itu bukanlah mangkirnya gagasan-gagasan yang baik. Namun mangkirnya komitmen nasional untuk mengambil langkah-langkah kuat yang penting untuk menjadikan Indonesia lebih makmur dan kompetitif.
Untuk itulah, dibutuhkan konsensus baru perilah “menjernihkan” proses menyejarah secara kolektif sebagai sebuah Indonesia. Karena proses menjadi Indonesia yang disebut nation and state building bukan sekedar perkara mengada sebagai satu teritori yang disebut negara.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Entri Populer

Pengikut