Minggu, 14 Agustus 2011

Menyemai Gotong Royong

expr:id='"post-body-" + data:post.id'>
Tulisan ini berangkat dari kegundahan terhadap fenomena berbangsa-bernegara yang kian tercabik dan terberai. Disintegrasi menjadi penyakit laten yang belum terjawab, namun sudah menganga mengancam tali persatuan. Merebaknya saling curiga, membudayanya saling hujat, nihilnya saling percaya, dan ragam pemandangan lainnya yang tak sedap, kian menggumpalkan kelusuhan berindonesia kita.  
Sejak Indonesia berdiri, komitmen persatuan menjadi pengikat yang meleburkan segala ego personal dan kelompok menjadi ego Indonesia Raya. Sebuah ikrar yang lazim terjadi di setiap negara dan bangsa manapun, karena hanya tekad persatuan itulah sebuah negara berdiri tegak dan dapat mengelola dirinya dengan baik. Tanpa persatuan, tidak ada lagi rumusan negara dapat bertahan lama. Uni Soviet sebagai negara adidaya pun, runtuh tak berdaya akibat leburnya persatuan menjadi fanatisme etnik. Jika disintegrasi terjadi, berarti jurang kehancuran negara sedang menanti. 
Menelisik kondisi bangsa kini, sepantasnya kita cemas. Nilai-nilai yang semestinya menjadi pijakan dalam berbangsa kian luntur, sementara arus tantangan begitu kuat menerjang di segala aspek budaya, politik, dan ekonomi. Globalisasi yang tidak terelakkan misalnya, telah banyak menghentak struktur nilai konvesional masyarakat kita hingga ruang terkecil dan remeh-temeh. Akhirnya, kelemahan daya imunitas bangsa akan rentan menghadirkan sebuah bangsa yang ringkih dan lemah.
Menurut saya, jika kenyataan tersebut tidak diantisipasi dini dan abai direspons, sungguh akan menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan negara Indonesia ke depan. Pernyataan ini tidaklah hiperbolik, apalagi bombastis, karena persoalannya begitu dekat dan lekat dengan kehidupan sehari-hari kita dalam berbangsa seperti kemiskinan menganga, mulai bergeliatnya etnosentris, hingga kumandang merdeka dari rengkuhan Indonesia.

Gotong Royong
Untuk melerai segala potensi yang merontokkan sendi berbangsa, kita harus kembali kepada nilai-nilai luhur bangsa kita. Gotong-royong adalah salah satu nilai luhur utama bangsa yang seharusnya dijadikan ruh dalam segala aspek bertindak, namun ter(di)lupakan. Karena nilai gotong-royong bukan sekedar seremonial yang hanya terjebak pada praktik-praktik slogan tanpa ruh. Tapi, harus dijalarkan agar menjadi landasan pijak dan tindak dalam membangun bangsa yang lebih baik.
Ir. Soekarno menegaskan semangat gotong royong lebih dinamis dari nilai kekeluargaan dan menjadi intisari Pancasila. Para founding fathers melatakkannya sebagai prinsip nilai bangsa yang tidak lagi bisa ditawar. Tetapi, hati ini terasa miris ketika nilai gotong-royong yang merupakan ejawantah Pancasila dan selalu didengungkan, namun senyap menjadi pajangan di dinding yang tidak lagi bergelora dalam tindakan berbangsa.
Bangsa kita telah mencapai banyak pembaruan dan perubahan. Keterbukaan politik dilakukan, restrukturasi ekonomi diupayakan, reformasi terus digelorakan. Tetapi sayang, semangatnya masih jauh dari muara prinsip gotong-royong. Keterbukaan politik justru disadap oleh hasrat an sich ingin berkuasa, perbaikan ekonomi dipoles untuk mengeruk kekayaan demi diri sendiri, dan gelora reformasi dijadikan ajang kontestasi saling menjatuhkan.
Lambannya pembenahan bangsa sejak reformasi bergulir, akibat tumpulnya ketajaman dalam menjadikan gotong-royong sebagai pijakan pembaruan. Kebebasan dan keterbukaan politik bergerak secara liar tanpa mengindahkan sendi-sendi solidaritas kolektif sebagai bangsa. Jalan perubahan kita telah melenceng dari semangat gotong-royong. Jika kondisi ini terus terbiarkan, bangsa kita tidak semata akan mengalami turbulensi, tapi menjadi lubang yang mematikkan bagi keutuhan negara-bangsa (nation-state) Indonesia.

Melebur Ego
Gotong royong mengandaikan leburnya benteng ego personal ke dalam ego kolektif untuk saling menopang demi kemajuan bangsa. Membangun gotong royong berarti sama-sama saling menopang dan bahu-membahu untuk mewujudkan kebaikan bagi negara dan bangsa, bukan sebaliknya. Namun, ketika keadilan harus ditegakkan, rasa kekeluargaan dan gotong-royong bukan berarti harus ditutupi atas nilai kebersamaannya.
Ketercabikan persatuan di tengah masyarakat akibat ego yang demikian menyeruak harus dihentikan dengan menyemai kembali semangat gotong-royong. Seruan untuk merekatkan lagi rasa persaudaraan dan kebersamaan sebagai sebuah bangsa yang besar oleh para pemimpin serta tokoh masyarakat sangat diperlukan. Seruan gotong-royong yang digemakan terus menerus, dapat membangun suasana baru dalam bathin kebangsaan kita.
Tetapi yang jauh lebih penting, seruan itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Seorang guru menghadirkan spirit gotong-royongnya dalam semangat bersama untuk mendidik anak bangsa. Seorang pegawai menampakkanya dengan semangat produktivitas pengabdian kepada negara. Seorang pemimpin dan tokoh masyarakat menunjukkannya dengan saling membahu untuk memberikan yang terbaik buat rakyat yang dipimpinnya.
Oleh karena itu sudah saatnya kita menyemai kembali gotong-royong untuk menjawab ancaman yang dapat meruntuhkan keutuhan persatuan bangsa Indonesia. Sebagai anak bangsa, kita memiliki tanggung-jawab besar mempertahankan dan menguatkan pondasi kebangsaan yang sudah dibangun para pahlawan dan founding fathers dengan keringat dan darah. Hanya itu yang bisa kita persembahkan untuk kejayaan Indonesia. ***

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Entri Populer

Pengikut