Selasa, 02 Agustus 2011

Membongkar ”Perselingkuhan” Media massa dan Partai politik

expr:id='"post-body-" + data:post.id'>
Kesamaan utama antara media massa dan partai politik, terletak pada hubungannya dengan masyarakat luas. Ibnu Hamad, dalam Menggugat Partai Politik menjelaskan hubungan antara media massa dan politik sebagai dua sisi mata uang dalam interaksi yang saling mempengaruhi. Sementara menurut J. Keane, dalam The Media and Democracy, perkembangan media massa, selalu beriringan dengan aspirasi demokrasi dan perjuangan untuk meraih kekuasaan politik.
Senada dengan pandangan di atas, Deddy N Hidayat menyebut bahwa, media massa telah menjelma menjadi media driven politics. Dalam arti, setiap momentum politik mustahil menafikan kehadiran media massa. Dalam fungsinya sebagai driven politics, media massa menjadi penghubung antara partai politik dengan warga. Sebuah fungsi yang dulunya dominan dilakukan oleh partai ataupun kelompok-kelompok politik tertentu. Dalam banyak hal, fungsi penghubung tersebut semakin banyak yang diambil alih media massa. Proses memproduksi dan mereproduksi berbagai sumber daya politik, seperti menghimpun dan mempertahankan dukungan masyarakat dalam pemilu, memobilisasi dukungan publik terhadap suatu kebijakan, merekayasa citra kinerja sang kandidat, dan sebagainya, banyak dijembatani, atau bahkan dikemudikan oleh kepentingan dan kaidah-kaidah yang berlaku di pasar industri media.

Media massa maupun partai politik, pada prinsipnya membutuhkan dan dibutuhkan masyarakat. Partai politik atau politisi pada umumnya—salah satunya—berurusan dengan sirkulasi kepemimpinan nasional maupun lokal melalui gelanggang Pemilu, Pilpres dan Pilkada. Sementara media massa, merupakan jembatan ide-ide dan kepentingan yang berhubungan dengan masyarakat luas. Secara teoritis, keduanya dapat bersinergi mewujudkan kehidupan politik yang lebih baik dan berkualitas.
Media massa dapat memediasi kegiatan politik Partai politik kepada masyarakat. Sebaliknya, juga dapat memediasi opini, tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada para elit/partai politik. Pertanyaannya adalah, mungkinkah media massa memberikan informasi yang benar dan proporsional, sehingga masyarakat pemilih dapat menentukan pilihan politiknya dengan tepat? Sejauh mana netralitas media massa atas berbagai kepentingan yang dimediasinya?
Pertanyaan ini pelik untuk dijawab secara jelas. Karena Informasi yang disebarkan oleh media bukanlah informasi yang bebas. Fakta keras tak dapat berbicara. Ia hanya dapat bunyi ketika ia telah disentuh oleh Media massa. Dan ketika itu, netralitas yang disandang fakta keras tersebut seringkali, jika tidak selalu, terlepas oleh nilai-nilai yang dianut oleh Media massa itu sendiri.
Pada sisi lain, posisi media sebagai institusi sosial sekaligus institusi bisnis—yang cenderung kontradiktif—menyediakan sejumlah celah yang dapat dimanfaatkan oleh Partai politik maupun Media massa dalam melakukan berbagai agenda-agenda politis yang sifatnya simbiosis mutualisme.
Sebagai institusi sosial, media dituntut menjadi “anjing penjaga", dengan menjadikan diri mereka berada dalam suasana perang untuk mempertahankan kepentingan orang banyak yang dicederai oleh politisi. Pandangan ini merefleksikan sisi positif media dalam gemuruh aktifitas politik. Asumsi dasar tentang hal ini terletak pada pandangan bahwa komunikasi massa memainkan peran penting dalam pemantapan demokrasi karena (O’Neil, 1998: 1), pertama,  Media massa dipandang sebagai sarana vital yang menghubungkan masyarakat dan pemerintah. Kedua, Masyarakat membutuhkan akses terhadap informasi agar mereka well-informed terhadap persoalan politik agar demokrasi bisa berjalan. Ketiga, Politisi membutuhkan media agar mereka bisa memahami aspirasi masyarakat, mereka dapat mengeskpos pandangan dan pendapatnya serta agar mereka bisa berinteraksi dengan masyarakat.
Namun disisi lain, tuntutan bisnis perusahaan membuatnya sulit bergeming dari aspek keuntungan materi. Pada akhirnya, beritapun menjadi komoditi yang diperdagangkan, membuat fakta politik di dalam media massa pada dasarnya telah dan bisa diatur, diperindah dan dibuat secara terstruktur. Graber (1997) dalam hal ini menegaskan bahwa yang dilakukan media tidak saja menunjukkan tentang suatu lingkungan politik yang tengah berlangsung, tetapi juga menjadi political environment itu sendiri.



“Perselingkuhan Politik” Media Massa


Penting dan menarik mengeksplorasi relasi Partai Politik, Media Massa dan Pilkada, karena sifatnya yang dibutuhkan dan membutuhkan masyarakat. Partai Politik berurusan –salah satunya– dengan rekruitmen kepemimpinan melalui arena Pemilu, Pilpres dan Pilkada. Sementara Media Massa, jembatan atau ruang lalu lintas ide-ide dan kepentingan yang berhubungan dengan masyarakat luas. Secara teoritis, ketiganya dapat bersinergi mengaktualkan kata kunci komunikasi politik, yaitu Citizen dan Well Inform.
Media Massa dapat memediasi kegiatan politik para politisi kepada masyarakat. Sebaliknya, juga dapat memediasi opini, tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada para politisi. Pertanyaannya adalah, bagaimana netralitas media dalam gemuruh aktivitas politik itu? Mungkinkah media memberikan informasi yang benar dan proporsional, sehingga masyarakat pemilih dapat menentukan pilihan politiknya dengan tepat?

“Perselingkuhan Politik” Media
Kebebasan media dan perkembangan teknologi, menjadikan media sebagai sumber yang dominan tidak saja bagi individu tetapi juga bagi masyarakat dalam memperoleh gambaran dan citra realitas sosial. Asumsi ini didukung oleh berbagai teori tentang hubungan media dan khalayak diantaranya, Stimulus-Respon, Agenda Setting, The Spiral of Silence, Cultivation dan lain-lain. Teori-teori ini secara umum menjelaskan bahwa, apabila media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka ia akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Pada perspektif ini, media tidak menentukan what to think, tetapi what to think about.
Walaupun sejak tahun 1970-an, Herbert Blumer dan Elihu Katz telah menggunakan teori Uses and Gratifications, yang menandai pergeseran fokus dari pandangan, apa yang media lakukan terhadap khalayak, menjadi apa yang khayalak lakukan terhadap media.  Tapi pendekatan (Uses and Gratifications) ini,  berlaku bagi masyarakat yang aktif dan kritis menggunakan media karena memiliki tujuan tertentu. Media hanya dianggap sebagai sarana yang mempertemukan kebutuhan-kebutuhan personal dan individu bebas menentukan cara bagaimana mereka memenuhi kebutuhannya, melalui media atau melalui cara lain.
Untuk masyarakat Indonesia pada umumnya, karena rendahnya tingkat pendidikan dan berbagai faktor lainnya membuat teori terpaan media “merajai” realitas sosial. Uses and Gratifications masih berada diawang-awang. Dalam mengartikulasi peran-peran strategis itulah, berbagai bentuk “perselingkuhan” terjadi karena kebebasan tidak selalu disikapi dengan bijak dan bajik, menjadikan Media Massa hadir dalam berbagai bentuk dan cara, mengatasnamakan ”kebebasan media” untuk berbagai kepentingan, tentunya yang paling banyak mewarnai dalam Pilkada adalah bekerja sebagai tim sukses untuk pemenangan kandidat tertentu. 
Konstruksi politis maupun ekonomis ini ibarat gayung bersambut. Kebutuhan terhadap Media Massa merupakan “harga mati” bagi politisi maupun kandidat  untuk mengelola citra yang hendak diciptakan, karena hanya Media Massa yang memiliki kemampuan reproduksi citra yang dahsyat. Dalam reproduksi tersebut, beberapa aspek bisa dilebihkan dan dikurangi dari realitas aslinya (simulakra). Kemampuan mendramatisir ini pada gilirannya menjadi amunisi bagi kandidat dalam menggalang suara pemilih.
Pertemuan dua arus kepentingan inilah yang bersimbiosis secara dominan dalam Pilkada. Sebuah “perselingkuhan politik” yang menjadikan pemberitaan media tidak lagi proporsional. Sebab pemilihan narasumber, waktu dan ruang bagi kandidat atau suatu peristiwa, serta keseimbangan pelaporan atas fakta, sarat rekayasa yang pada akhirnya mengacaubalaukan ruang publik dari informasi yang benar serta mengorbankan rakyat yang berhak untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi; inilah salah satu klausul atas kondisi kemenangan dalam Pilkada, sesungguhnya bukanlah kemenangan rakyat. Tapi kemenangan segelintir elit dan pemilik modal.

Tanggung Jawab Sosial Media
Pilkada langsung yang telah dilaksanakan di berbagi daerah sejak bulan juni 2005, sebenarnya dimaksudkan bukan hanya mengeleminir konspirasi-konspirasi antar elit politik yang selama ini mendominasi proses pemilihan kepala daerah dengan menegasikan aspirasi masyarakat melalui aktor-aktor keterwakilan di DPRD, tapi juga sebagai ruang untuk tampilnya pemimpin-pemimpin daerah berkualitas yang mampu menjadi aktor keadilan dan kesejahteraan, karena ”beban berat” transisi demokrasi yang disertai globalisasi, hanya dapat dipikul oleh pemimpin yang memiliki kapabilitas dan integritas yang mumpuni.
Namun Pilkada yang diharapkan sebagai gelanggang demokrasi yang efektif, efisien dan berkualitas masih jauh dari harapan. Proposisi ini dapat diidentifikasi dalam beberapa kegagalan Pilkada, diantaranya mewujud sebagai pesta pora syahwat kekuasaan –Royal, Irasional, Absurd– yang secara implisit hanya menjadi ajang bagi lahirnya kapitalisme politik. Pada konteks ini, teori MPM (Money, Power, More Money) merebak; kekuasaan bermula dari uang untuk kemudian mendatangkan uang lebih banyak lagi bagi siapa pun yang terpilih.   
Kebenaran yang menyakitkan ini, setidaknya disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya, menguapnya tanggung jawab sosial media karena proses perselingkuhannya. Untuk itulah, mendesakkan tanggung jawab sosial  media merupakan “pahala sosial” yang harus terus menerus diupayakan guna mengaktualkan fungsi media yang dipaparkan oleh McNair, masing-masing: fungsi monitoring, mendidik, platform, watchdog dan advocasy.
Akhirnya dalam momentum Pilkada, Media Massa kita harapakan tidak sekedar menggunakan konstruksi politisnya, karena konstruksi ini hanya memberi citra positif terhadap kandidat yang didukungnya, begitupun sebaliknya. Juga tidak sekedar menggunakan konstruksi ekonomisnya untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Tapi sangat diharapkan, Media Massa menggunakan konstruksi idealisnya untuk memberikan informasi yang benar dan proporsional kepada masyarakat pemilih. Karena hanya dengan informasi yang benar dan proporsional itulah, masyarakat dapat menentukan pilihannya dengan tepat, yang sekaligus berarti masyarakat bukan lagi–sekedar–angka-angka dihadapan syahwat kekuasaan segelintir elit dan pemilik modal.



Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Entri Populer

Pengikut