Selasa, 02 Agustus 2011

NALAR AGAMA YANG HILANG

expr:id='"post-body-" + data:post.id'>
HARUS diakui, agama yang kita anut dan jalani saat ini sudah jauh dari bentuk bangunan ideal agama pada masa Muhammad, Yesus, Musa, Buddha, dan bahkan Ibrahim. Agama dewasa ini sudah tidak bisa lagi diharapkan untuk menjadi obat (untuk tidak mengatakannya panacea) bagi kesuraman peradaban yang penuh dengan sifat destruktivisme dan vandalisme komunal dari modernisme. Bahkan ironisnya, agama malah acapkali menjadi ladang pertikaian, pertumpahan darah, dan alat pencari kekuasaan. Di sini, saya tidak bermaksud menghujat agama, tapi itulah kenyataannya, bahwa agama dewasa ini sangat jauh dari tipe ideal pada saat ia lahir.
Perang dingin antara mitos (teolog) dan logos (filosof) yang kemudian menghantarkan kepada kemenangan logos sehingga memunculkan Renaissance dan aufklarung, cukup membawa manusia tercerabut dari akar spiritualnya. Herannya, agama tidak berperan sebagai counter balancing terhadap arus gerak logos, tetapi agama malah masuk ke dalam jaring-jaring logosceterism tersebut. Agama menjadi kehilangan mitos dan sakralitas sebagai ruh fundamentalnya. Ia berjalan-jalan di atas permukaan logos yang serba rasional-sentris dan objektif. Iman dirasionalkan (fidesquerens intellectum) dan ajaran Tuhan (baca; wahyu) diprofansentriskan.
Rekayasa yang coba dibangun agama hanyalah rekayasa semu, karena terbangun dari logos semata. Kekeringan makna, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan agama pada taraf seperti ini. Simbol tidak lagi bermakna, ritual hanya sekumpulan doktrin dan simbol yang harus dilaksanakan, namun tidak memberikan kontribusi apapun bagi kehidupan manusia. Bahkan ironisnya, ritual hampa nilai spiritualitas.
Tetapi pada sisi lain, ada juga wajah agama (teologi?) yang justru terang-terangan mengabaikan sisi rasionalitas. Agama hanya dipandang sebagai sekumpulan mitos belaka yang pada akhirnya, manusia seolah hanya menjadi budak agama. Kekerasan dan pembunuhan tidak lagi menjadi perbuatan keji ketika disandingkan dengan doktrin agama. Ia hanya menjalankan agama, namun tidak mengerti untuk apa dan siapa ajaran itu diturunkan dan dilaksanakan. Apapun itu, jika diyakini bersumber dari agama, akan diterjemahkan dalam realitas sekalipun dengan kekerasan dan perusakan yang bertentangan dengan nalar kemanusiaan. Benarlah apa yang dikatakan seorang penyair Irlandia WB Yeats (1865-1939), rasa tak bersalah ditenggelamkan. Yang terbaik kehilangan pendirian dan keyakinan. Pun, menjadi benar juga tuduhan Clarkson yang menyatakan bahwa dosa merupakan fantasi manusia sedangkan kejahatan merupakan wahyu Tuhan.
Nalar agama adalah nalar profetik, nalar profetik adalah nalar kemanusiaan, dan nalar kemanusiaan adalah nalar yang bersumber pada nurani. Tetapi, agama mainstream dewasa ini adalah agama yang tidak lagi memiliki nalar demikian. Watak agama dengan nalar kemanusiaan tidak berada pada posisi mutual-interest. Agama dan Tuhan menjadi sesuatu yang superior, melebihi segalanya. Sedangkan nalar manusia yang bersumber pada nurani diposisikan pada ruang yang inferior. Akhirnya, gerak agama tidak lagi selaras dengan bahasa nurani. Padahal hati nurani merupakan instrumen Tuhan untuk menaruh dan menyemayamkan firmannya (QS.26/193-194) agar manusia bergerak pada koridor hukum-hukum Tuhan; cinta kasih.
***
Dengan demikian, harus diakui bahwa nalar agama mainstream saat ini tidak lebih dari sebuah nalar yang mencoba merekayasa kehidupan manusia dengan (apa yang dianggapnya) hanya bersumber pada perspektif Tuhan (agama) an sich atau semata murni rasional. Dan, tidak pernah menjadikan nurani manusia sebagai referensi rekayasa ideal-normatif. Nalar (nurani) manusia dikesampingkan. Semua tindakan yang mengikutsertakan blessing Tuhan ataupun semata rasio tampak begitu suci dan aksiomatik, walaupun meminta tumbal seribu darah manusia; pembunuhan dan pembantaian. Rekayasa agama ini tidak memberikan keteduhan bagi manusia, malah justru menelanjangi manusia dari kehidupan dan ketenangan jiwanya. Agama dan manusia bak dua buah entitas yang terasing dan menjadi orang asing (alien) di antara mereka.
Ada dua sebab mengapa agama demikian. Pertama, ketergeseran spiritualisme agama oleh kerasnya hempasan badai rasio (baca; logos) manusia. Manusia berusaha melogosentriskan (desakralisasi) Tuhan dari tarikan nafas agama. Pada persolan ini, pemikir besar Karen Amstrong menegaskan bahwa manusia sama saja dengan membunuh Tuhan manakala hendak menjadikan Tuhan (agama) murni rasional (Karen Amtrsong, 2001). Dan ketika agama demikian, ia tidak menjadi peneduh, tetapi mengasingkan manusia dari dunia spiritual. Kedua, adanya rasio-phobia. Yakni, terlalu memandang negatif terhadap rasio yang telah membuat agama kehilangan spiritualismenya. Sehingga apa yang terjadi ?. Mitos pun menjadi pujaan. Bara dendam dan kekerasan tidak dipandang sebagai bagian yang dilarang Tuhan, melainkan sesajen yang seolah bisa membuat Tuhan 'tersenyum' dan 'bangga'. Atas hadirnya dua faktor inilah, agama menjadi tidak memiliki nalar, baik nalar spiritualitas dan (lebih-lebih) nalar kemanusiaan (baca; nurani)
Melihat pandangan tersebut, berpijak pada nalar kemanusiaan adalah suatu keharusan bagi agama agar mampu menyetir kembali peradaban dunia. Agama tidak akan lagi dicibir sebagai perusak peradaban (destroyer of human civilization) yang berkeadilan dan berkedamaian, sebagaimana nada WB Yeats dan Clarkson di atas. Karenanya, tawaran yang mendesak untuk diaplikasikan adalah membangun konsepsi dan rekayasa agama yang selalu berasas dan mengacu pada nurani kemanusiaan. Nurani manusia tidak pernah meridai segala bentuk kekerasan pembantaian, dan penindasan. Nurani manusia selalu menginginkan kedamaian, kasih sayang, dan spiritualitas. Inilah sesungguhnya nalar agama yang selama ini lepas dan hilang dari pelukannya. Inilah yang disebut oleh Tuhan sebagai agama fitrah (QS 30:30)
Rekayasa yang berasas pada nurani kemanusiaan, tidak akan mencerabutkan spiritualitas agama dan tidak pula mendikotomisasikan agama dengan logos. Melainkan keduanya harus saling bersimbiosis-mutualis dan bahu-membahu. Logos haruslah legawa untuk tidak merasionalisasikan seluruh material agama. Pun, agama (mitos) janganlah mengklaim salah manakala logos mencoba meluruskan gerak langkahnya. Sehingga, agama tidak lagi menjadi asing dan mengasingkan manusia dari dunia spiritualitas serta tidak memperbudak dan membunuh nalar (baca; nurani) manusia dalam mengukur baik dan benarnya tindakan. Kiranya seperti itulah bangunan ideal agama untuk masa kini, yang dahulunya pernah bersemayam mesra di zaman Muhammad, Yesus, Konfusius, dan Musa. Wallahu a'lam..

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Entri Populer

Pengikut